Prof. Dr. H. Abdul Mufid, Lc., M.S.I. menjadi guru besar pertama di Institut Agama Islam (IAI) Khozinatul Ulum Blora yang dikukuhkan.
Pria asal Pati itu dikukuhkan sebagai Guru Besar bidang ilmu Ulumul Hadis di IAI Khozinatul Ulum, di usianya yang ke 46 tahun.
Prof. Abdul Mufid bukan berasal dari keluarga seorang akademisi, tapi petani.
Meskipun begitu, tak ada yang menyangka Prof. Abdul Mufid berhasil mendapat gelar tertinggi akademik tersebut.
Menariknya, untuk menempuh jenjang pendidikan mulai S1 hingga S3, sebagian besar ditempuh oleh Prof. Abdul Mufid dengan jalur beasiswa.
Prof. Abdul Mufid merupakan lulusan Madrasah Aliyah (MA) Raudlatul Ulum Guyangan Trangkil Pati tahun 1999.
Sewaktu hendak lulus dari MA Raudlatul Ulum tersebut, Abdul Mufid sangat bercita-cita untuk melanjutkan studi S1 di Universitas Al-Azhar Kairo Mesir.
“Alasan saya ingin kuliah di Mesir, karena saya waktu itu terobsesi dengan kisah sejarah Islam. Kisahnya kan Nabi Musa dihanyutkan di Sungai Nil.”
“Nah saya penasaran, Sungai Nil itu seperti apa, bekas-bekas peninggalan Nabi Musa seperti apa. Jadi kisah sejarah itu terungkap di sana semua. Itu alasan kuat saya memilih Mesir untuk mengkaji ilmu di sana,” katanya, kepada Tribunjateng, Selasa (7/1/2025).
Abdul Mufid menceritakan keinginannya itu ke orang tua. Mendengar keinginannya itu, orang tua Abdul Mufid sempat kaget, lantaran bingung untuk biayanya.
Meskipun begitu, pada akhirnya Abdul Mufid mendapat dukungan dari orang tua untuk menimba ilmu di Mesir.
Dengan menjualkan lahan pekarangan sempit yang dimiliki sebagai modal Abdul Mufid ke Mesir.
“Tanah pekarangan yang dijual itu laku Rp 10 juta. Nah uang hasil jual tanah itu untuk modal saya ke Mesir,” ujarnya.
Abdul Mufid menggunakan uang tersebut untuk membeli tiket, dan sisanya untuk hidup dan menimba ilmu selama setahun di Fakultas Syari’ah Islamiyah, Universitas Al Azhar Kairo Mesir.
Abdul Mufid mulai menimba ilmu di Universitas Al Azhar Kairo Mesir pada 1999, dan lulus pada 2004.
“Uang Rp 10 juta itu, saya gunakan untuk membeli tiket, dan sisanya untuk biaya hidup saat di Mesir, selama setahun. Orang tua juga tidak pernah mengirimkan sama sekali uang bulanan, karena kondisi finansial. Jadi bagaimana pun caranya saya pakai uang yang ada itu untuk bertahan,” terangnya.
Kemudian, setahun berjalan Abdul Mufid sembari mencari beasiswa, agar bisa menamatkan studinya tersebut.
Abdul Mufid mendapat beasiswa dari Universitas Al Azhar Kairo Mesir, hingga lulus.
Selama periode menimba ilmu di Mesir itu, sejak 1999, sampai lulus 2004, Abdul Mufid tidak pernah pulang ke kampung halaman di Pati.
“Ya nggak pernah pulang, karena nggak ada uang. Saya hanya mengandalkan uang beasiswa. Baru saat lulus, saya pulang ke Pati,” jelasnya.
Setelah pulang ke Indonesia, Abdul Mufid mengajar di Madrasah Aliyah (MA) Raudlatul Ulum Guyangan Trangkil Pati, sejak 2004 hingga 2008.
Selanjutnya, Abdul Mufid mengabdi menjadi dosen di Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Khozinatul Ulum, sekarang Institut Agama Islam (IAI) Khozinatul Ulum Blora.
Ia akhirnya mendaftar beasiswa 5.000 doktor dari Kementerian Agama (Kemenag).
“Dan Alhamdulillah saya lolos beasiswa itu. Saya S2 di UIN Walisongo Semarang, Studi Islam, konsentrasi Ilmu Falak, masuk 2009 dan lulus 2011,” terangnya.
Abdul Mufid tidak puas dengan kesuksesannya menamatkan studi S2. Pada 2012, ia mendaftar beasiswa lagi untuk melanjutkan studi S3. Hanya saja gagal.
Di tahun berikutnya, juga mendaftar beasiswa kembali, namun juga gagal. Baru kemudian di tahun 2014, Abdul Mufid lolos beasiswa pada program 5.000 doktor dari Kemenag, untuk melanjutkan S3 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Islamic Studies, konsentrasi Studi Al-Qur’an dan Hadis.
Abdul Mufid berhasil menamatkan S3 pada 2019. Selama periode 2008-2019, Abdul Mufid juga masih mengabdi menjadi dosen di IAI Khozinatul Ulum, sembari melanjutkan karir akademiknya S2 hingga S3.
“Jadi sebagian besar itu saya memakai beasiswa, S1 setahun pakai uang orang tua, kemudian pakai beasiswa hingga lulus. Selanjutnya S2 dan S3 saya pakai beasiswa juga, dan bisa dikatakan S2 dan S3 itu Rp 0, saya tidak membayar SPP,” terangnya.
Setelah lulus S3, Abdul Mufid tidak mudah berpuas diri. Ia semakin tertantang untuk meraih gelar tertinggi akademik.
Apalagi, menurutnya banyak di kalangan dosen swasta pesimis untuk meraih gelar guru besar.
Hal itu malah menjadi pemicu Abdul Mufid untuk membuktikan bahwa, meskipun dari kampus swasta juga mampu mencapai gelar tertinggi akademik.
Abdul Mufid mencari informasi terkait syarat-syarat meraih gelar guru besar. Ia mulai mengumpulkan berkas persyaratan.
Menurutnya ada tiga syarat wajib yang harus dipenuhi. Di antaranya usia ijazah sudah 3 tahun, sudah sertifikasi dosen (Serdos), ada linieritas antara ijazah S3, serdos, dan riset yang dilakukan.
Selain itu, terdapat syarat tambahan. Ada tiga syarat tambahan. Calon guru besar boleh memilih salah satu dari syarat tambahan tersebut.
Di antaranya, pernah mendapatkan bantuan penelitian Rp 100 juta dari lembaga manapun, baik Kemendikbud, Kemenag dan lainnya.
Menjadi reviewer di jurnal internasional bereputasi pada dua jurnal yang berbeda.
Menjadi promotor disertasi.
“Saya memilih yang sesuai kemampuan saya, yaitu menjadi reviewer jurnal internasional bereputasi, karena kemampuan saya ya di situ.”
“Karena untuk di dua syarat tambahan yang lain kan saya nggak mampu. Saya belum pernah dapat bantuan penelitian Rp 100 juta, lalu di kampus saya belum ada S3, jadi tidak bisa jadi promotor disertasi,” jelasnya.
Pada 2022, Abdul Mufid memutuskan mengajukan diri untuk meraih gelar guru besar.
Lalu pada April 2024, Abdul Mufid dinyatakan lolos sebagai guru besar.
Surat Keputusan (SK) Guru Besar bidang ilmu Ulumul Hadis dikeluarkan oleh Kemenag pada 6 September 2024.
Kemudian pada 17 Desember 2024, Abdul Mufid resmi dikukuhkan sebagai Guru Besar bidang ilmu Ulumul Hadis di IAI Khozinatul Ulum.
Abdul Mufid tidak menyangka bisa berhasil mendapatkan gelar tertinggi akademik tersebut.
Ia juga berpesan kepada setiap mahasiswanya, dan dosen-dosen swasta khususnya yang ada di Jawa Tengah, dan umumnya di Indonesia, dosen swasta memiliki hak dan peluang yang sama untuk memperoleh gelar Guru Besar.
Abdul Mufid mengutip pepatah dalam bahasa Arab, Man Jadda Wajada, yang artinya barang siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan menemukan jalannya.
“Yang penting totalitas, jangan pesimis meskipun dari kampus swasta, jangan minder. Kendala ekonomi, bisa mendaftar beasiswa, pasti ada jalan,” jelasnya.
Selain itu, untuk impian Abdul Mufid ke depan yakni ingin membawa kampus IAI Khozinatul Ulum Blora di kancah internasional.
“Saya ingin menjadikan kampus ini mendunia, dengan bukti saya sudah mulai membangun MoU dengan kampus-kampus luar negeri, seperti Malaysia,”
“Itu saya mulai dari fakultas saya. Saat ini saya Alhamdulillah menjadi Dekan Fakultas Ushuluddin IAI Khozinatul Ulum. Ini untuk memacu pimpinan kampus agar menjadikan kampus bertaraf internasional, tidak mustahil itu,” jelasnya.
Selain itu, sejak Abdul Mufid dikukuhkan menjadi guru besar, peluang IAI Khozinatul Ulum terbuka lebar untuk berganti status menjadi Universitas.
“Gayung bersambut, salah satu syarat bisa jadi universitas kan harus ada Guru Besarnya minimal satu. Lalu harus ada program studi umumnya, jadi semuanya saat ini sudah mulai di susun target-target IAI Khozinatul Ulum ini,” paparnya.(Iqs)., disadur dari tribunjateng.com